Kritik Terhadap Modus Formalisme dalam Seni

Seperti yang diketahui estetika formalisme umumnya semata tertuju kepada
kualitas seni dan melepaskan diri dari kaitannya seperti unsur makna
seni,  tradisi atau budaya. Modus ini berasumsi pentingnya konfigurasi
karya seni, yaitu  pengamatan terhadap mutu karya seni yang terkait 
kekompakan  berbagai unsurnya ke dalam suatu kesatuan organis (Osborne,
1955). Dan  berasumsi bahwa mutu karya seni seperti ini mampu mendukung
penilaian seni dengan standar yang objektif, karena  susunan “organik”
seni adalah nyata dan tidak ditanggapi secara emosional dan penilaian seni bisa
menjadi lebih objek
tif.

 Lihat Tulisan yang berkaitan:

Asumsi ini juga merupakan dasar konsep bagi faham “formalisme  (Bell, 1958; Fry, 1956). Namun, banyak ahli
yang kurang sependapat dengan cara berpikir ini, karena “formalisme”
sebagai   alat penilaian hanya dianggap
pantas  dipakai saat mengkaji karya seni modern. Alasannya, berbagai struktur formal
seni, sama sekali belum terpikirkan oleh seniman sebelum abad ke-sembilanbelas.
Dan tidak cocok dipakai  untuk menilai
karya seni tradisi apalagi untuk folk art yang munculnya memang bukan dari
pemikiran formalisme, keseimbangan komposisi, keenakan untuk dilihat dan bukanlah
tujuan seni folk karena mereka justru sering muncul demi kepentingan ritus, mitos, bahkan magi,  serta fungsi praktisnya.

Menurut Hough, Joni (2009) selama beberapa dekade terakhir,
formalisme
 telah memainkan peran sentral di sebagian
besar ruang kelas seni
 sekolah
umum di Amerika (K-12)
.

Menurut penulis formalisme juga berpengaruh di Eropah dan Indonesia, hal
ini kelihatan dari pelajaran komposisi (desain), rupa dasar, atau dasar desain
yang dipelajari bidang seni dan desain untuk memahami keindahan semua seni.
Dalam melukis misalnya diperlukan untuk menganalisa karya itu berdasarkan ilmu
komposisi atau desain dasar (7+7) (lihat box di bawah)

Formalisme: “The 7 Principles of Art and Design”

 Oleh: Marder, R (2018)

Elemen dan prinsip seni dan desain adalah dasar dari bahasa yang
kita gunakan untuk berbicara tentang seni. Elemen – elemen
seni adalah alat visual yang digunakan seniman untuk membuat
komposisi. Ini adalah garis, bentuk, warna, value/nilai, bentuk,
tekstur, dan ruang.

Prinsip – prinsip seni mewakili bagaimana
seniman menggunakan unsur-unsur seni untuk menciptakan efek dan membantu
menyampaikan maksud seniman. Prinsip-prinsip seni dan desain adalah
keseimbangan, kontras, penekanan, gerakan, pola, ritme, dan kesatuan /
variasi. Penggunaan prinsip-prinsip ini dapat membantu menentukan apakah
sebuah lukisan berhasil, dan apakah
lukisan itu selesai atau tidak

Seniman memutuskan prinsip-prinsip
seni apa yang
ingin ia gunakan dalam sebuah lukisan. Sementara seorang seniman mungkin
tidak menggunakan semua prinsip desain dalam satu potong, prinsip-prinsip itu
saling terkait dan penggunaan yang satu sering tergantung pada yang
lain. Misalnya, saat membuat penekanan, artis mungkin juga menggunakan
kontras atau sebaliknya. Secara umum disepakati bahwa lukisan yang
sukses dipersatukan, sementara juga memiliki beberapa variasi yang
diciptakan oleh bidang  kontras  dan  peneka
nan (aksentuasi);  seimbang secara visual ;  dan
menggerakkan   mata  pengamat 
di sekitar komposisi. Dengan demikian, satu prinsip seni dapat
mempengaruhi efek dan dampak prinsip lainnya. 

Sumber: https://www.thoughtco.com

7 Prinsip Seni ( Prinsip Organisasi Elemen Seni)

  • Keseimbangan mengacu
    pada bobot visual unsur-unsur komposisi. Ini adalah perasaan bahwa
    lukisan itu terasa stabil dan “terasa
    benar.” Ketidakseimbangan menyebabkan perasaan tidak nyaman pada
    pengamat. Balance/ Keseimbangan dapat dicapai dalam 3 cara berbeda: 
  • Simetri, di mana kedua sisi
    komposisi memiliki elemen yang sama di posisi yang sama, seperti pada gambar
    cermin, atau dua sisi wajah.
  • Asimetri, di mana komposisi
    seimbang karena kontras dari setiap unsur seni. Misalnya, lingkaran
    besar di satu sisi komposisi mungkin diseimbangkan dengan kotak kecil di sisi
    lain
  • Simetri radial, di mana
    elemen berjarak sama rata di sekitar titik pusat, seperti pada ruji yang
    keluar dari hub ban sepeda.
  • Kontras adalah
    perbedaan antara unsur-unsur seni dalam suatu komposisi, sehingga
    masing-masing unsur dibuat lebih kuat dalam kaitannya dengan yang
    lain. Ketika ditempatkan di samping satu sama lain, elemen-elemen yang
    kontras memerintahkan perhatian  pengamat. Area kontras adalah di antara
    tempat pertama yang menarik perhatian 
    pengamat. Kontras dapat dicapai dengan menyandingkan setiap elemen
    seni. Ruang negatif/ positif adalah contoh kontras. Warna
    komplementer yang ditempatkan berdampingan adalah contoh kontras. Notan
    adalah contoh kontras. 
  • Penekanan  (Emphasis)
    adalah ketika seniman menciptakan area komposisi yang dominan secara visual
    dan menarik perhatian penonton. Ini sering dicapai dengan kontras.
  • Movement (Gerakan)
    adalah hasil dari menggunakan unsur-unsur seni sedemikian rupa sehingga mereka menggerakkan
    mata  pengamat  di sekitar dan di
    dalam gambar. Perasaan bergerak dapat diciptakan oleh garis-garis
    diagonal atau melengkung, baik nyata atau tersirat, oleh tepi, oleh ilusi
    ruang, oleh pengulangan, dengan pembuatan tanda yang energik. 
  • Pattern (Pola)
     adalah pengulangan seragam dari setiap elemen seni atau kombinasi dari semuanya. Apa pun
    bisa diubah menjadi pola melalui pengulangan. Beberapa pola klasik
    adalah spiral, grid, tenun. 
  • Ritme/ Irama   diciptakan
    oleh gerakan yang tersirat melalui pengulangan unsur-unsur seni dengan cara yang tidak seragam tetapi
    terorganisir. Ini terkait dengan irama musik. Tidak seperti pola,
    yang menuntut konsistensi, ritme bergantung pada variasi.
  • Kesatuan / Variasi  Anda
    ingin lukisan Anda terasa bersatu sehingga semua elemen cocok bersama dengan
    nyaman. Terlalu banyak kesatuan menciptakan monoton, terlalu banyak
    variasi menciptakan kekacauan. Anda membutuhkan keduanya. Idealnya, Anda
    ingin bidang yang diminati dalam komposisi Anda bersama dengan tempat-tempat
    untuk mata Anda beristirahat. 

Fe
ldman (1992) yang terkenal dengan bukunya “Arts as
Image and Idea” (1976) itu dan buku ini banyak dirujuk oleh pendidikan seni sedunia. Kemudian dalam artikelnya, Formalism
and Discontent (“Formalisme dan Ketidak puasannya”) []  menjelaskan perihal kekurangan dan kebaikan
formalisme sebagai berikut ini.

Tidak ada keraguan bahwa
formalisme memiliki pengaruh besar pada pengajaran seni, di sekolah-sekolah, dan juga
di departemen seni kampus dan universitas. Memang, banyak guru seni formalis
tanpa menyadari fakta, tanda pasti bahwa doktrin formalis telah berasimilasi
dengan budaya kritis, estetika, dan pedagogis kita. Sejarah formalisme modern –
sejak dari Clive Bell (1913) dan Roger Fry (1920) hingga Albert Barnes (1928)
dan Clement Greenberg (1966) – sudah dikenal luas, jadi tidak perlu diulas di
sini. Yang perlu kita ketahui adalah mengapa formalisme sangat menarik bagi
guru seni, apakah pengaruhnya berbahaya atau tidak, dan apakah pantas untuk
dilestarikan, dimodifikasi, atau dibuang dari pedagogi seni.. ……………

Adalah doktrin bahwa fokus utama perhatian estetika dan makna kritis
adalah, atau seharusnya, organisasi dan penyajian elemen-elemen visual karya
seni: garis,
bentuk, warna, tekstur, massa, ruang, volume, dan pola
(Nochlin, 1974). 

Dengan demikian, estetika menjadi
ilmu yang membedakan bagaimana bentuk dan hubungan formal memperoleh kekuatan
ekspresif, bagaimana mereka menghasilkan emosi dan menandakan makna, dan
mengapa mereka secara simbolis kuat. Dengan demikian, sejarah seni adalah
sejarah evolusi hubungan formal dan keputusan terkait seni yang telah
menyebabkan mereka berubah dari waktu ke waktu. Dengan demikian, pengajaran
seni terdiri dari mengajar siswa untuk membuat bentuk, memahami keputusan yang
menghasilkan hubungan formal, membedakan pilihan formal dalam seni orang lain,
dan menerapkan pelajaran bentuk dalam ekspresi artistik mereka sendiri.[3]

1. Perihal yang Menarik dari Formalisme

Feldman akhirnya bertanya, kenapa begitu banyak guru
seni membatasi
instruksi pada identifikasi elemen visual dan hubungan formal mereka? Jawaban
yang jelas dan barangkali terlalu sederhana adalah bahwa elemen visualnya
sangat mudah diajarkan. Siswa dapat diajar melihat elemen visual dan
prinsip-prinsip organisasi mereka seolah-olah mereka semacam “tabel
periodik” seni; siswa dapat diberi tugas dan latihan di mana elemen visual
dapat digunakan baik secara tunggal atau dalam kombinasi elemennya (komposisi);
dan siswa dapat belajar dan mengenal seni orang lain dan para master dengan
memakai  elemen visual.

2. Beberapa keuntungan Memakai Formalisme

Feldman berpendapat bahwa pemakaian formalis dalam
pendidikan seni akan
memperoleh beberapa keuntungan.

  1. Yang pertama adalah sebuah keuntungan “ilmiah”: sebab guru akan memulai pengajaran dengan konstituen seni visual yang tidak dapat direduksi secara optik.
  2. Kedua adalah keuntungan linguistik: kita mengenali seni sebagai bahasa yang mandiri, suatu mode komunikasi dan ekspresi yang otonom yang tidak bergantung pada keberadaan kata sebelumnya. Seperti yang dikatakan Berger (1972), “Melihat sebelum kata-kata. Anak itu melihat dan mengenali sebelum dapat berbicara”
  3. Ketiga adalah keuntungan perkembangan-kurikuler: instruksi bergerak dari mudah ke sulit, sederhana ke kompleks, dan permukaan ke kedalaman – sebuah urutan dimana sang guru berusaha untuk menghormati ketentuan ini.
  4. Keempat adalah keuntungan kehormatan akademik melalui pengajaran tata bahasa visual dan sintaksis: formalisme mempromosikan pembelajaran dalam seni dengan cara yang sama seperti kita belajar membaca dan menulis.
  5. Fleksibilitas adalah keuntungan kelima: doktrin formalis memiliki relevansi baik dengan membuat seni sendiri maupun melihat seni orang lain. Untuk guru seni, ini menciptakan efek yang saling menguatkan: tugas kelas dipandu oleh prinsip formalis memajukan mode kewaspadaan estetika yang mempromosikan upaya yang secara alami mengkonfirmasi kebenaran estetika formalis.
  6. Keuntungan penerapan universal: doktrin formalis memberikan –bahkan pemirsa yang canggih sekalipun– akses ke seni setiap saat atau tempat atau orang dengan asumsi bahwa elemen formal merupakan “denominator umum yang terendah” seni terlepas dari bahan, teknik, gaya, simbolisme, tujuan sosial, maksud
    artistik, dan konteks budaya atau sejarah.

Tampaknya, dari sumbangan  keuntungan
yang disebutkan di atas, formalisme memiliki banyak hal untuk direkomendasikan,
setidaknya untuk kelayakan pedagogis, otonomi disiplin, kompatibilitas dengan
model pembelajaran yang mapan, dan tujuan penting untuk mendapatkan akses ke
seni yang
diciptakan dalam masyarakat selain masyarakat sendiri.

Namun demikian bukannya tanpa kritik, sebab formalisme secara luas juga dikritik mungkin karena
keberhasilannya dan penerapannya yang luas dalam pendidikan seni – telah menghasilkan tekanan balik, akhirnya
muncul juga keberatan terhadap praktik dan teori formalis sebagai berikut ini.

3. Keberatan terhadap Formalisme (Kritik dari Ahli Sejarah)

Set pertama keberatan terhadap formalisme berasal dari
sejarawan seni (Preziosi, 1989). Dalam asal-usulnya, setidaknya, seni tampaknya
tidak terutama berkaitan dengan masalah bentuk seperti yang dikemukakan oleh
(Read, Herbert, 1965): Yaitu seni sebagai bentuk-bentuk yang menyenangkan.
Sebabnya adalah dalam tradisi seni yang utama di dunia ini dunia, motif untuk
menciptakan dan melihat seni jarang formalis. Bentuk dalam seni hampir selalu
menjadi pelayan bagi tujuan magis, religius, moralistik, naratif, dan / atau
politik. Bagi para sejarawan seni, penolakan terhadap formalis adalah dengan
memperhatikan dengan serius tujuan-tujuan ini dan hal ini merupakan pelanggaran
berat.

Pelanggaran Terhadap Gaya seni. Pelanggaran formalis yang
lain adalah terletak pada perhatiannya terhadap evolusi gaya seni sebagai
proses yang terjadi dalam seni. Sejarah seni seakan keluar dari akar
kesejarahannya. Kebenaran parsial di sini adalah bahwa seni memang dapat
dihasilkan secara praktis melalui formalis. Namun, cendrung mengabaikan faktor
sosial, ekonomi, dan agama juga menghasilkan seni, apalagi oleh  sejarawan seni sering selalu berkomitmen
untuk mempelajari konteks non-art, sesuatu yang cenderung diabaikan oleh
penganut formalis.

Pelanggaran terhadap Seni Abstrak (anti ikonik). Keberatan
ketiga tumbuh dari preferensi formalis untuk seni abstrak dan seni-seni
non-obyektif yang tidak ternoda oleh gambar orang, tempat, atau benda yang
dapat dikenali. Dengan kata lain, formalisme adalah anti-ikonik, atau
ikonofobia, (menggunakan istilah Kenneth Clark ,1981). Akibat memakai formalis
akhirnya tidak adanya gambar yang dapat dikenali lagi, khususnya dalam seni
modernis, karena formalis berkonsentrasi pada hubungan formal saja dan
melihatnya sebagai hal yang sangat penting secara estetika.

Keluar dari Sejarah. Sejarawan seni cukup yakin bahwa
identifikasi hubungan formal itu merugikan karena tidak menjelaskan secara
memadai hal-hal penting seperti patronase, perkembangan kronologis, pengaruh
geografis, ikonografi, atau motivasi politik dan agama. Jadi untuk mengatasi
kekurangan ini perlu ditambahkan studi biografi seniman atau studi psikologi
kreativitas seniman, yang keduanya terus menjadi alat utama beasiswa sejarah
seni (Kleinbauer, 1971). Formalisme, tampaknya, membuat praktik sejarah seni
tidak relevan. Singkatnya, sejarawan seni memiliki keberatan terhadap
formalisme dengan alasan itu hampir sepenuhnya ahistoris, tanpa perasaan akan
pengaruh institusi dan tradisi dalam penciptaan dan pemahaman seni.  Formalis mempelajari karya seni seolah-olah
mereka ada di luar ruang dan waktu, yang mungkin merupakan ide yang
menyenangkan, tetapi sulit untuk ditangani secara pedagogika. (dalam pendidikan
seni)

Dalam hubungan ini, Gotshalk (1947) mengatakan,

“Selain ruang dan waktu, kausalitas dan teleologi hadir
dalam karya seni” (p. 109). Selain itu, atribusi yang
tersirat dari keabadian pada karya seni memberikan aroma metafisik yang tidak
sesuai dengan studi ilmiah yang serius tentang manusia. budaya manusia (Osborne & Saw, 1968).
[] 

4. Keberatan terhadap Formalisme (Kritik dari ahli Estetika)

Set kedua keberatan datang dari ahli estetika. Yang pasti,
bentuk-bentuk visual adalah hal-hal yang dibuat oleh para seniman, tetapi
pemisahan bentuk dari pernyataan maknanya melanggar perasaan kita tentang apa
yang terjadi ketika kita melihat seni (Lipman,1967). Dengan kata lain, doktrin bahwa
bentuk-bentuk seni hanya menunjukkan diri mereka bertentangan dengan aktivitas
alami pikiran kita. [
  1. Selain itu, pemisahan bentuk dari konten hampir tidak mungkin, meskipun beberapa pendidik seni berusaha keras untuk mendorong pemisahan itu di benak siswa mereka.
  2. Keberatan estetika lainnya adalah bahwa hubungan formal yang dianggap untuk kepentingan mereka sendiri cenderung membosankan. Yaitu, jika seni formalis tidak lain adalah seni, formalis estetika tidak lain adalah melihat, yang mengatakan, mengabaikan siapa, apa, dan mengapa kita melihat. Frank Stella (1967) mengatakan, “Lukisan saya didasarkan pada kenyataan bahwa hanya apa yang dapat dilihat di sana. Itu benar-benar objek” (hlm. 86). Namun, penindasan kepentingan manusiawi dan keprihatinan kita dalam tindakan persepsi estetika tampaknya tidak menjadi tujuan dan keinginan pendidikan seni.
  3. Akhirnya, evaluasi hubungan formal dalam seni tidak dapat dilakukan kecuali dengan alasan nonformal, yaitu, alasan sosial, moral, dan ideologis yang diremehkan formalis. Seseorang dapat mengenali dilema guru: bagaimana dia dapat mengevaluasi karya seni siswa kecuali atas dasar subjektivitas murni atau preferensi yang sederhana. Meskipun mungkin ada sejumlah subjektivitas dalam semua evaluasi, kriteria formalis untuk sukses – bahkan jika mereka dapat dibuat secara eksplisit – tampaknya sangat rentan terhadap tuduhan kesewenang-wenangan.

Menurut Felman, sepertiga keberatan adalah dari aspek sosial dan
politik. Dari kacamata sosial dan politik yang menuduh bahwa seni
 formalis adalah elitis dan bahwa instruksi
seni formalis merendahkan kelas pekerja dan / atau nilai dan aspirasi
kerakyatan.

Tuduhan itu sebagian besar adalah benar, karena seni terlepas dari implikasi ideologisnya (Feldman, 1989). Lagi pula, Roger Fry
(1935) mengatakan:

“Secara proporsional ketika seni menjadi lebih murni, jumlah orang yang tertarik
akhirnya semakin berkurang. … Itu hanya menarik pada kepekaan estetika, dan
bahwa dalam kebanyakan pria relatif lemah” (hlm. 181).

Menurut Feldman, Fry mungkin benar tentang
daya tarik populer — atau adanya ketidaksukaan thd. — seni
 formal, tetapi apa kesimpulan pedagogis yang
harus kita tarik dari dari hal ini? Haruskah massa diajarkan untuk menyesuaikan
selera mereka ke titik di mana itu sesuai dengan selera atasan mereka? Memang,
itu akan tampak sebagai salah satu tujuan dari instruksi seni formalis: untuk
mengajar orang bahwa perasaan spontan dan minat alami mereka memiliki sedikit
atau tidak ada validitas estetikanya.

Felman menambahkan bahwa tujuan lain dari estetika formalis
adalah untuk memungkinkan orang mengalami “emisi estetika” (pancaran
estetika) yang berasal (mereka klaim) dari persepsi hubungan formal yang
dihasilkan dari penindasan tanggapan manusia sehari-hari terhadap citra visual
(Ortega y Gasset, 1956). John Dewey (1934), meskipun dalam hal ini  Dr. Albert Barnes, akan tidak setuju dengan
pendapat ini. Dalam analisisnya tentang persepsi estetika, ia berpendapat
secara persuasif bahwa pengalaman bentuk
tidak dapat dipisahkan dari pengalaman hidup.

Bagi pendidik seni, aspek pembelajarannya
menjadi  jelas: bahwa pendidikan estetika
tidak akan memiliki masa depan jika harus dibangun di atas penolakan radikal
terhadap pengalaman “kebanyakan manusia”. Di sisi lain, tidak masuk
akal secara edukasi untuk merayakan kepopuleran formalis hanya karena dia itu
populer.

Menurut Felman, penting juga mengetahui bahwa fungsi guru seni bukan hanya untuk menyetujui apa yang di buat
siswa, tidak juga untuk meratifikasi selera dan preferensi siswa yang ada dalam
seni. Sebab pada masa kini, tujuan mengajar kepada siswa untuk menyukai
formalis ( seni “murni) itu ” akan baik-baik saja jika kita
benar-benar yakin ada perbedaan yang kuat antara seni “murni” dan
“tidak murni”.

Namun, perbedaannya sangat jelas. Bagaimana kita
mengklasifikasikan seni rakyat,
seni primitif, seni komersial, seni
industri, dan apa yang disebut seni praktis dan kerajinan? Jenis-jenis seni “terbuang”
ini mendukung nilai-nilai estetika dengan alasan yang tidak dibatasi oleh  kualitas formalnya? Komentar penyulis adalah berikut ini.

Akhirnya, menjadi jelas bahwa kaum formalis telah mendapatkan
diri mereka terkurung di dalam sebuah kotak. Hal itu bisa terjadi dan akan jadi
masalah kecil jika doktrin estetika mereka tidak begitu populer di kalangan
guru seni. Menurut Felman, formalisme itu berbahaya, bagaimanapun, karena itu
membuat siswa merasa bodoh atau ketika tidak peka dan acuh terhadap konteks
seni. Formalis itu jaya dalam pendidikan karena mereka hanya tahu sepotong
kebenaran – bahwa tidak ada seni tanpa bentuk – tetapi itu sepotong kebenaran,
yang salah pakai dan akan  berubah
menjadi pelecehan pedagogis.

5. Pentingnya Modus Formalisme dalam Pendidikan

Feldman berpendapat bahwa formalisme efektif dan penting sejauh itu dapat mendorong
siswa untuk memperhatikan “fakta” bentuk. Tetapi formalisme itu kontraproduktif
sejauh hal itu meyakinkan siswa bahwa seni selalu dan hanya masalah menemukan tatanan
geometri abstrak yang tersembunyi di setiap gambar. Tatanan seperti itu mungkin
dibumbui oleh variasi regional, trik teknis, sedikit warna etnis, dan beberapa
perkembangan pribadi, tetapi tatanan mendasar itulah yang ingin dilihat dan
dihargai oleh para formalis. Agaknya, sisanya insidental jika tidak berlebihan.
“Selebihnya,” adalah seni.

Dengan adanya keberatan teoretis dan praktis terhadap formalisme, apa yang harus dilakukan
guru seni? Akal sehat menasihati untuk tidak membuang
sesuatu yang berguna seluruhnya, justru sebaliknya harus disempurnakan. Bagaimana
kita bisa membersihkan tindakan formalis? Beberapa hal yang penting dilakukan
menurut Feldman adalah berikut ini.

  1. Seni tidak harus dilihat hanya analisa bentuk saja tetapi juga bentuk dengan makna (isi) Atau sebaliknya tidak ada konten seni tanpa bentuk. Tidak bisa mengatakan karya seni bahwa bentuknya bagus sedangkan artinya buruk. Dari mana “keburukan” itu datang? Itu harus tersirat dalam bentuknya.
  2. Elemen formal tidak boleh diajarkan sebagai generalisasi abstrak. Instruksi harus memungkinkan siswa untuk menemukan contoh garis, bentuk, warna, tekstur, dll. Khusus dalam gambar nyata, baik dari alam atau seni. Prinsip-prinsip organisasi atau komposisi formal (kesatuan, keseimbangan, ritme) harus diajarkan sehubungan dengan karya seni nyata. Diagram dan overlay mungkin berguna, tetapi mereka adalah alat bantu pedagogis, bukan objek perhatian estetika.
  3. Harus dilihat Peran konteks visual dalam menentukan makna dari setiap intisari bentuk yang penting dan harus dipelajari sejak dini; pentingnya warna atau bentuk sangat tergantung pada warna dan bentuk tetangganya. Dalam kritik seni (pembahasan seni), seseorang harus bergerak dari konteks visual ke konteks sosial, agama, atau ekonomi, bukan sebaliknya. Jangan pernah membiarkan pemeriksaan sebuah karya seni berakhir hanya dengan deskripsi hubungan formalnya.
  4. Menurut Feldman, jangan mencoba membuat penjelasan sosial, agama, atau politik dari suatu karya seni tanpa analisis formal sebelumnya. Bentuk-bentuk visual adalah nyata perseptual, dan itu adalah analisis formal yang membuat kita jujur ​​ketika mencoba interpretasi kritis. Bahwa hubungan formal memiliki signifikansi nonformal; murid harus diajari menerjemahkan hubungan formal yang mereka lihat ke makna nonformal yang mereka pahami.
  5. Implementasi kurikulum seni multikultural memerlukan instruksi formalis sejak awal, kalau tidak kita harus belajar kosa kata berbagai bahasa di dunia ini untuk menjelaskannya bentuk-bentuk.
  6. Perlu diketahui bahwa bentuk menginformasikan apa yang diketahui oleh seorang seniman dan siswa apa yang dapat diketahui dengan melihat. Karenanya, persepsi formal harus menjadi awal dari proses penyelidikan.Tentu saja, jika mereka berhasil mengajar seni, mereka sudah tahu itu. Jangan mencoba penjelasan sosial, agama, atau politik dari suatu karya seni tanpa analisis formal sebelumnya. Bentuk-bentuk visual adalah nyata perseptual, dan itu adalah analisis formal yang membuat kita jujur ​​ketika datang ke interpretasi kritis. Bahwa hubungan formal memiliki signifikansi nonformal; murid harus diajari menerjemahkan hubungan formal yang mereka lihat ke makna nonformal yang mereka pahami.
  7. Implementasi kurikulum seni yang sifatnya multikultural memerlukan instruksi formalis sejak awal, kalau tidak kita harus belajar berbagai bahasa untuk menjelaskan soal bentuk saja. Jadi formalisme yang resmi itu perlu dan tidak perlu ditinggalkan untuk membahas seni.

Yang terakhir ini dapat dipahami, dan akan terlihat dari berbagai
istilah yang dipakai masyarakat enik tentang bentuk sesuatu seni
.



 K-12 adalah istilah yang dipakai
di Amerika dari Kelas 1 SD sd kelas 3 SMA (12 kelas} sebutan yang sama di
indonesia, misalnya SMP adalah kelas 7,8
dan 9 (K7-9)
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/00393541.1992.11651866,
diakses tanggal 20 Januari 2020

Ibid. https://www.tandfonline.com

Ibid. https://www.tandfonline.com

Ibid. https://www.tandfonline.com